MediaJawa — Di sudut Lapas Kelas IIA Banjarmasin, terdapat sebuah ruang terbuka yang bisa diakses oleh warga binaan: perpustakaan. Tempat sederhana ini menjadi titik pertemuan antara keheningan dan harapan. Di tengah rutinitas kehidupan yang serba terbatas, perpustakaan menawarkan suasana yang berbeda — tenang, penuh pengetahuan, dan menyimpan ribuan kemungkinan baru.
Setiap harinya, sejumlah warga binaan secara rutin mengunjungi perpustakaan. Bagi mereka, buku bukan sekadar hiburan, melainkan jendela untuk melihat dunia yang lebih luas dan kesempatan untuk refleksi diri. Salah satu warga binaan, Fajar (nama samaran), terlihat asik membaca di sudut ruangan, dengan memegang buku berjudul Mengembangkan Kepercayaan Diri.
“Dulu saya jarang membaca. Tapi sejak di sini, saya mulai tertarik dengan buku-buku motivasi dan pengembangan diri. Ada rasa tenang ketika membaca, dan dari situ saya mulai belajar mengenal diri saya sendiri,” ujarnya sambil tersenyum.
Fajar mengaku awalnya merasa putus asa ketika pertama kali menjalani masa pidananya. Ia merasa dunianya runtuh dan tak lagi memiliki masa depan. Namun, kunjungannya ke perpustakaan pada suatu hari mengubah cara pandangnya. Buku pertama yang menarik perhatiannya adalah buku tentang pentingnya memaafkan diri sendiri dan membangun kembali kepercayaan diri.
“Saya membaca satu bab, lalu terus lanjut ke halaman berikutnya. Rasanya seperti diajak berbicara langsung. Saya sadar, meski masa lalu tidak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa diperjuangkan,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Sejak saat itu, Fajar rutin datang ke perpustakaan. Ia mencatat kutipan-kutipan motivasi dari buku ke dalam buku kecil miliknya, yang kini sudah hampir penuh. Ia bahkan mulai menulis pengalaman hidup dan harapannya di masa depan.
“Kalau nanti saya bebas, saya ingin membuka usaha kecil. Saya juga ingin ikut kegiatan sosial, biar ada yang bisa saya bagi dari pengalaman hidup saya ini,” katanya dengan penuh harapan.
Perpustakaan Lapas Banjarmasin menyediakan beragam koleksi, mulai dari literatur agama, novel fiksi, buku pelajaran, hingga keterampilan praktis seperti pertanian dan kewirausahaan. Koleksi tersebut secara rutin diperbarui melalui kerja sama dengan instansi, komunitas literasi, dan donatur.
Kepala Lapas Kelas IIA Banjarmasin, Akhmad Herriansyah, menyampaikan bahwa perpustakaan bukan hanya sarana belajar, tetapi juga bagian penting dari proses pembinaan.
“Literasi adalah jantung pembinaan mental. Lewat buku, warga binaan diajak berpikir kritis, merenung, dan menyusun ulang cita-cita mereka. Kami berharap kebiasaan baik ini bisa menjadi bekal saat mereka kembali ke tengah masyarakat,” ungkap Herriansyah.
Kegiatan membaca juga kerap dikombinasikan dengan diskusi buku dan penulisan reflektif. Warga binaan yang memiliki minat menulis bahkan didorong untuk menuangkan pemikirannya dalam bentuk puisi, cerpen, hingga catatan harian yang bisa menjadi sarana ekspresi diri yang positif.
Kasubsi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan, M. Junaidi, menambahkan bahwa banyak warga binaan yang menunjukkan perubahan perilaku setelah aktif membaca.
“Ada yang dulunya mudah emosi, kini jadi lebih sabar. Ada juga yang tertarik mengambil paket pendidikan karena terinspirasi dari buku yang mereka baca. Ini bukti bahwa membaca mampu mengubah cara pandang dan sikap seseorang,” tutur Junaidi.
Perpustakaan Lapas Banjarmasin kini terus berbenah. Pihak lapas berupaya memperluas akses informasi dan literasi digital bagi warga binaan, termasuk melalui rencana digitalisasi koleksi dan penyediaan ruang baca yang lebih nyaman.
Bagi warga binaan, perpustakaan bukan hanya ruang baca — tetapi juga ruang harapan, tempat di mana masa lalu ditata kembali dan masa depan mulai ditulis ulang, satu halaman demi satu halaman.
- Lapas Banjarmasin