Surabaya, Mediajawa.com (14/12) – Ada pemandangan yang hampir selalu sama di setiap Hari Raya. Ruang tamu mendadak terasa lebih luas, orang-orang duduk berjejer, senyumnya seragam, bajunya pun begitu. Dari kakek, nenek, ayah, ibu, sampai anak-anak, warnanya senada dan modelnya seirama. Itulah momen ketika baju muslim sarimbit lebaran menemukan maknanya yang paling sederhana sekaligus paling mendalam.
Menariknya, kebiasaan mengenakan seragam keluarga bukanlah hal baru. Ini bukan sekadar tren musiman yang muncul dari katalog mode. Kebiasaan ini lahir dari sebuah kebutuhan psikologis yang sering tak terucapkan: kerinduan untuk kembali ke rumah, setelah setahun menjalani hiruk-pikuk kehidupan masing-masing.
Lebaran menjadi titik temu semua perjalanan itu. Setelah berbulan-bulan ayah tenggelam dalam pekerjaan, ibu sibuk mengatur urusan keluarga, dan anak-anak terhanyut dalam dunia sekolah, hari raya hadir sebagai jeda yang menenangkan. Di hari itu, keluarga ingin tampil sebagai satu kesatuan yang utuh. Tidak sekadar duduk bersama atau melakukan aktivitas bersama, tetapi juga terlihat bersatu di tengah keramaian. Pakaian menjadi simbol yang paling mudah dikenali sebuah cerita indah yang bisa dibaca hanya dengan melihatnya.
Di sinilah sarimbit keluarga lebaran bekerja tanpa banyak bicara. Ia mengikat rasa dan menyederhanakan perbedaan. Ketika potongan baju ayah, ibu, dan anak dibuat senada, pesan yang muncul bukan soal gaya, melainkan soal kekompakan dan kebersamaan. Fenomena ini juga menjelaskan mengapa setiap menjelang hari raya Idul Fitri, pencarian tentang baju lebaran keluarga muslim selalu melonjak. Orang tidak sekadar mencari baju baru. Mereka mencari identitas kolektif, setidaknya untuk satu hari yang istimewa.
Namun, selera keluarga Indonesia juga berubah. Jika dulu sarimbit identik dengan motif kaku dan warna monoton, kini ia bergerak lebih lentur. Potongannya lebih modern, bahan lebih nyaman, dan desainnya memberi ruang bagi karakter masing-masing anggota keluarga, tanpa kehilangan keserasian. Konsep sarimbit ayah ibu anak kini tidak lagi memaksa semua terlihat sama, tetapi terasa selaras.
Di beberapa perbincangan ringan dengan pelaku industri fashion, muncul satu benang merah: keluarga ingin tampil rapi, pantas difoto, tetapi tetap bisa bergerak bebas. Anak bisa berlari, ayah tetap nyaman bersilaturahmi, dan ibu tetap anggun tanpa ribet di tengah teman-teman arisannya. Inilah arah baru baju muslim keluarga terbaru.
Aulia Fashion misalnya, membaca kecenderungan itu dengan cermat. Mereka tidak sekadar menjual pakaian, tetapi menawarkan narasi. Bahwa busana hari raya seharusnya membantu keluarga menikmati momen, bukan malah merepotkan. Koleksi busana muslim keluarga lebaran mereka dirancang agar tiap anggota keluarga merasa “ini gue”, namun tetap “ini kita”. Barangkali di situlah rahasia mengapa seragam lebaran selalu kembali ramai setiap tahun. Karena manusia pada dasarnya ingin pulang. Dan ketika pulang, ia ingin diterima sebagai bagian dari satu cerita utuh keluarga, sebagaimana cerita itu mengalir indah di masa lalu.
Lebaran akan terus berganti tanggal, dan mode fahon pun akan terus berubah. Tetapi kebutuhan untuk merasa satu dengan orang-orang terdekat, tampaknya tidak akan pernah usang. Selama Hasrat itu ada, sarimbit keluarga akan selalu menemukan tempatnya, di lemari, di foto keluarga, serta di hati dan ingatan kita tentang kenangan indah di masa kecil dulu.
Tertarik untuk memesan ? Hubungi via link WA dan jangan lupa cantumkan alamat lengkap Anda.




